DINASTI YANG
TERKOYAK
(Janji yg belum
terlaksana)
PURO PAKUALAMAN
Putra-putri
Alm.KGPAA Paku Alam VIII:
Dari
KRAy. Ratnaningrum :
1.
Ir.
KPH.H. Probokusumo
2.
BRAy.Retno
Sundari
3.
BRAy.
Retno Sewayani
4.
KPH.
Anglingkusumo
5.
KPH.
Songkokusumo
6.
BRAy.
Retno Pudjawati(wafat ketika bayi)
7.
KPH.
Ndoyokusumo
8.
KPH.
Wijoyokusumo
Dari
KRAy. Purnamaningrum :
1.
KPH.Ambarkusumo
2.
BRAy.
Retno Martani
3.
KPH.
Gondhokusumo
4.
BRAy.Retno
Suskamdani
5.
BRAy.
Retno Rukmini
6.
KPH.H.
Tjondrokusumo
7.
BRAy.H.Retno
Widanarni
8.
KPH.
Indrokusumo
Sejarah Suksesi:
Pada
rapat pleno ahli waris tanggal 25 November 1998 disepakati, ” Proses Suksesi
merupakan Hak Eksklisif ahli waris KGPAA. Paku Alam VIII, untuk itu ahli waris
melakukan dengan musyawarah dan mufakat.
Hal
yg sama disampaikan oleh sesepuh Hudyono pada rapat kerabat 23 November 1998 di
Jakarta, ”Suksesi Pimpinan Projo Paku Alaman dan Kepala Keluarga Besar Trah
Pakualaman adalah bersifat intern keluarga dank arena itu diselesaikan oleh
Ahli Waris Sri Paduka KGPAA. Paku Alam VIII alm.Yang terdiri dari 2 Garwo dan
para putra kakung serta putri.
Terjadi
rapat keluarga pada tgl 7 Maret 1999, dibahas antara lain masalah Paugeran Jawi
(hukum adat tidak tertulis) dan Ibu sepuh (ibu yg dituakan). Pada rapat
tersebut diakui oleh KRAy.Purnamaningrum
bahwa beliau adalah istri yang MUDAdengan
panggilan diajeng/adik dan KRAy.Ratnaningrum
adaah istri yang DITUAKAN dengan panggilan Mbakyu/kakak. Hal tersebut
merujuk pada bukti-bukti lain:
1.
Merujuk
pada Janji yg diucapakan oleh KGPAA. Paku Alam VIII dihadapan kakek kandungnya
SISKS PB X ketika meminang KRAy. Ratnaningrum sebagai istri untuk apabila putri
Solo tersebut (KRAy. Ratananingrum) datangnya belakangan supaya dijadikan ISTRI yang nomer 1/ DITUAKAN. DITUAKAN artinya
adalah apabila anak pertama dr istri
yang dituakan lali-laki maka posisinya akan dituakan/atau merupakan anak
pertama yang berhak atas Tahta. Adanya Janji tersebut merujuk pada bukti-bukti
antara lain;
·
Surat
Keterangan Resmi SISKS PAKOE BUWONO XII,
·
Surat
Keterangan Resmi para saksi hidup GRAY. Brotodiningrat(Putri PB X), GRAY.
Kusumojati (putri PB X), Ray. Sumodiningrat (bedoyo PB X), Nyai Lurah Hamung
Sugata(abdi dalem keparak).
2.
Dengan
adanya janji tersebut diberikanlah tetenger dari nenek KGPAA. Paku Alam VIII
(istri SISKS PB X) yaitu KBRAy. Retno Purnomo dipecah 2 menjadi :
Retno + Ningrum =
KRAy. Ratnoningrum yg didahulukan/dituakan, dan
Purnomo+Ningrum =
Purnamaningrum yang dibelakang/dimudakan.
Namun
hal-hal lain masalah suksesi belum memperoleh titik temu namun sudah dinyatakan
final oleh KPH.Ambarkusumo sehingga terjadi walkout oleh KPH. Probokusumo dan KPH. Songkokusumo. Oleh sebab itu
kemudian disepakati perlunya mediator
yg diambil dari sesepuh Hudyono.
Namun
secara mengejutkan pada rapat terakhir tanggal 18 April 1999 disampaikan sebuah
Deklarasi yang dibuat oleh 12 orang sesepuh kerabat
berpangkat pangeran lurah/bupati mengatasnamakan Hudyono yang dibuat tgl 6
April 1999 di Jakarta isinya: Mendukung
dan Menobatkan KPH. Ambarkusumo sebagai Paku Alam IX dan meNYISIHkan
pihak-pihak yang tidak setuju terhadap penobatan itu baik dari internal maupun
external.
Berdasarkan
Deklarasi tersebut maka KPH.Ambarkusumo melakukan Jumenengan sebagai Paku Alam
IX tanpa ada persetujuan dari seluruh ahli waris. Pihak KPH. Ambarkusumo juga
menolak penggunaan Akta Notaris pada waktu Jumenengan yang diusulkan pada saat
rapat terakhir serta menolak perlunya tanda tangan persetujuan dari Ahli Waris
yang lain. Pihak Ambarkusumo juga menolak dan tidak mau menggubris semua
bukti-bukti tentang adanya Janji KGPAA Paku Alam VIII dengan kakek kandungnya
SISKS. PB X.
Pihak
KPH. Ambarkusumo juga tidak mendudukkan hak dan kewajibannya sebagai Paku Alam
terhadap adik-adiknya dan tidak
mendudukkan / membagikan hak waris dari seluruh ahli waris yang sah baik
itu merupakan harta pribadi mendiang Alm. KGPAA.Paku Alam VIII ataupun Harta
Keprabon/ Harta Kerajaan sampai detik ini. Pihak KPH. Ambarkusumo juga
melakukan bongkar paksa terhadap kamar mendiang alm.KGPAA.Paku Alam VIII dan
mengambil semua barang-barang berharga secara sepihak. Pihak KPH. Ambarkusumo
juga melakukan bongkar paksa terhadap museum Puro Pakualaman yang selama ini
dikelola oleh KPH. Anglingkusumo.
Dengan
demikian maka pihak KPH. Probokusumo menyatakan bahwa Jumenengan KPH.
Ambarkusumo TIDAK SAH dan CACAT HUKUM dengan tidak adanya persetujuan dari
seluruh Ahli Waris Tahta yang Sah, tidak menggunakan Akta Notaris yang diakui
oleh hukum Negara dan Hanya berdasarkan Deklarasi yang mengatasnamakan Hudyono
yang melanggar AD-ART Hudyono serta yang notabene hanya berfungsi sebagai
mediator. Hudyono tidak memiliki mandat dari Ahli Waris untuk melakukan
Jumenengan dan tidak memiliki Hak untuk memilih atau menjumenengkan seorang
raja di dalam AD-ARTnya.Paguyuban Hudyono sendiri adalah paguyuban yang Tidak
Berbadan Hukum/Tidak punya Akta Notaris Pendirian sehingga Deklarasi tersebut
Tidak memiliki dasar hukum/ Cacat Hukum.
Perlu
diketahui bahwa setelah KGPAA. Paku Aam VIII mangkat maka tas kantor yang
selalu dibawa beliau sehari-hari yang berisi 3 map, uang dan kunci brankas (menurut
keterangan abdi dalem yang meladeni beliau sehari-hari dan yang terakhir membantu
beliau memasukan isi tas tersebut) HILANG sampai sekarang tidak diketemukan.
Yang kami ketahui terjadi adalah pernyataan KRAy. Punamaningrum yang mengatakan bahwa beliau menemukan kunci
brankas kuno yang berada di dalam kamar almarhum yang notabene berada didalam
TAS yang HILANG (menurut keterangan abdi dalem yang terakhir memasukan isi tas
sebelum KGPAA. Paku Alam VIII mangkat).
Tas tersebut diDUGA berisi SURAT WASIAT yang ditinggalkan almarhum
mengingat berdasarkan keterangan wartawan sejak tahun 1989 sebetulnya Beliau
telah menunjuk pengganti/ Putra Mahkota.
Mencuatnya
Kembali Permasalahan Suksesi Puro Paku Alaman
Pada
tahun 2001 KPH. Anglingkusumo membuat sebuah buku mengenai suksesi Puro
Pakualaman dengan judul “Sebuah Dinasti yang Terkoyak”. Buku tersebut kemudian
dibedah melalui bedah buku yang dilaksanakan oleh Pasca Sarjana Universitas
Islam Indonesia. Hasil dari bedah buku tersebut adalah disarankannya oleh
beberapa pakar untuk menuntut melalui PTUN menimbang bukti-bukti yang cukup
lengkap dan memadai.
Dengan
semangat, ”Mikul duwur mendhem jero” dan menghindari keributan yang lebih besar
maka saran para pakar belum dilaksanakan oleh KPH. Anglingkusumo. KPH. Anglingkusumo
lebih memilih cara persuasif dengan
berharap bahwa dengan berjalannya waktu maka ada kesadaran dari pihak KPH.
Ambarkusumo ataupun Hudyono untuk kemudian melakukan upaya rekonsiliasi seperti
yang terjadi pada Puro Mangkunegaran di Solo.
Berdasarkan
permintaan dari salah satu penerbit maka dibuatlah buku “Sebuah Dinasti yang
Terkoyak” edisi kedua. Tanpa diduga buku tersebut menjadi booming sebelum
sampai ke tangan penerbit, sampai sekarang kami kewalahan menangani permintaan
buku tersebut.
Perseteruan
keluarga mulai muncul kembali saat kubu Ambarkusumo akan mensertifikatkan Tanah
Paku Alam atau Paku Alam Ground(PAG) yang ada di Kulon Progo yang akan
diguanakan untuk penambangan pasir besi dan bandara. Hal tersebut ditentang
oleh keluarga dari kubu Probokusumo yang kini dimotori oleh KPH. Anglingkusumo
sebagai putra laki-laki tertua setelah meninggalnya KGPH. Probokusumo dan
ditandatangani oleh semua Ahli Waris dari KRAy. Ratnaningrum (Kubu
Probokusumo/Anglingkusumo). Hal tesebut kemudian didukung oleh masyarakat PAG
(masyarakat Adikarto) yang banyak dirugikan oleh pihak Ambarkusumo dengan
praktek penambangan pasir besinya. Masyarakat Adikarto juga kecewa terhadap
kubu Ambarkusumo karena selama 13 tahun mereka tidak pernah dilihat, ditengok, diurus,
diayomi bahkan akan dieksploitasi.
Diduga
hal tersebut diatas yang melatar belakangi terjadinya, ”Pengukuhan KPH. Anglingkusumo menjadi KGPAA. Paku Alam IX pada
tanggal 15 Maret 2012 oleh masyarakat Adikarto Kulon Progo secara sepontan pada
acara Sedekah Bumi sekaligus Peringatan 102 tahun kelahiran KGPAA.Paku Alam VII
(Pengukuhan tersebut sudah disahkan dengan Akta notaris). Peristiwa tersebut
mendapat tekanan dari kubu Ambarkusumo, bahkan terjadi aksi semi kekerasan di
kediaman KPH. Anglingkusumo (sudah dilaporkan ke Polda, namun Polisi tidak
memproses lanjut). Hal tersebut justru menambah perhatian dan simpati publik
terhadap apa yang sebenarnya terjadi sehingga permintaan buku Dinasti yang
Terkoyak edisi 2 semakin bertambah seiring dengan bertambahnya dukungan
terhadap KPH. Anglingkusumo. Bahkan muncul, ”Pengukuhan ke-2 terhadap KPH. Anglingkusumo
sebagai KGPAA. Paku Alam IX oleh elemen-elemen masyarakat dari kabupaten Gunung
Kidul. Kemudian diikuti pula dukungan dari elemen mahasiswa dan masyarakat Indonesia
Timur terutama kaum muda dan seterusnya semakin bertambah setiap harinya hingga
saat ini.
Seiring
dengan bertambahnya pendukung KPH. Anglingkusumo sebagai KGPAA. Paku Alam IX
dari kerabat dan masyarakat maka dibentuklah suatu Himpunan Kerabat dan Kawulo
Paku Alam (HKPA) Notokusumo yang sudah disahkan oleh Akta Notaris nomor 147 pada
tanggal 10 Juli 2012 yang sudah memiliki perwakilan di beberapa provinsi,
kabupaten/kota bahkan ada perwakilan di Amerika Serikat dan Inggris. Perwakilan
HKPA dengan anggota terbanyak untuk saat ini adalah HKPA cabang Kabupaten
Gunung Kidul yang telah beranggotakan 1700 orang, disusul Kabupaten Kulon Progo
dan Bantul.