Demokratisasi telah tercoreng hari ini (11/9). Bukan di
jalanan, bukan diruang diskusi, bukan di kantor birokrat, tapi di Gedung DPRD.
Ironis, selama ini gedung DPRD adalah simbol demokrasi, kebebasan berbicara,
dan kebebasan berpendapat setiap warga negara. Katanya gedung DPRD adalah rumah
rakyat, tapi ternyata hanya rakyat tertentu yang bisa berumah disitu. Parahnya
lagi, kejadian ini terjadi di Jogja. Jogja dikenal (Saya tidak tahu apakah ini
hanya klaim saja) sebagai daerah yang plural. Dimana banyak perbedaan bisa
berjalan bersama. Sayangnya, tidak semua orang berpikir seperti itu.
Disini saya melepaskan posisi jurnalis saya dan memihak pada
demokrasi. Saya tidak memihak pada kubu A atau B. Mayoritas atau pun minoritas.
Saya pilih demokrasi dimana setiap orang memiliki kebebasan yang sama. Tidak
ada yang dilucuti kebebasannya.
Berikut saya tulis liputan kejadian yang saya anggap
sabotase atas kebebasan berbicara dan berpolitik di DPRD:
Sekber Usir Pendukung Angling
JOGJA - Kedatangan KPH Widjojokusumo dan
KPH Wiroyudho beserta beberapa pendukungnya sempat menimbulkan gesekan-gesekan
dengan aktivis sekber keistimewaan di halaman Gedung DPRD DIJ kemarin sekitar
pukul 14.30 WIB. Awalnya aktivis sekber yang mendirikan posko di depan gedung
DPRD tidak mengetahui kedatangan kubu KPH Anglingkusumo tersebut. Sebab datang
menggunakan mobil xenia berwarna Baby Blue dan langsung menuju parkiran
belakang dewan. Sehingga tidak tampak mencurigakan.
Namun belakangan, para aktivis sekber
mengetahuinya, terlebih saat tak lebih dari sepuluh orang lelaki yang masih
sangat muda menggunakan kaos merah dengan lambang pakualaman datang menggunakan
motor. Aktivis Sekber langsung menutup gerbang DPRD yang hendak menghadang kubu
Anglingkusumo.
Namun saat mobil KPH Widjojokusumo hendak
keluar gedung DPRD, gerbang pun di buka. Hingga menyisakan para pendukung
angling di halaman DPRD. Para pendukung
Angling pun segera dikerumuni oleh elemen pro penetapan itu. Sejumlah orang
memaksa para anak muda itu membuka baju mereka yang berlambang pakualaman
dengan teriakan –teriakan. Dengan tanpa
baju, mereka pun digiring ke pos satpam DPRD.
Disitu, para aktivis sekber dengan suara
yang tinggi menanyakan siapa mereka dan apa maksud tujuannya datang ke DPRD.
Para anak muda itu hanya diam sambil menunduk dengan intimidasi tersebut. Lalu,
para elemen pro penetapan itu pun meminta KTP para pendukung Anglingkusumo itu.
Setelah data di KTP dicatat, mereka pun memaksa para pendukung pakualam untuk
segera meninggalkan gedung DPRD.
Tak berapa lama Widjojokusumo dan
Wiroyudho pun kembali ke DPRD dan mengaku sebagai kordinator dari para pemuda
itu. Wiroyudho yang merupakan menantu Angling pun menghampiri para aktivis
sekber dan menyelesaikan masalah itu dengan berjabat tangan. Pihak sekber pun
mengatakan bahwa pihaknya hanya ingin mengetahui apa maksud dan tujuan para
pemuda itu dengan baik-baik. “Kami hanya ingin menanyakan baik-baik.
Sudah-sudah. Matur nuwun nggih,”kata salah satu aktivis sekber.
Setelah itu, para awak media pun segera
menghampiri Widjojokusumo dan Wiroyudho untuk wawancara. Namun para pro
penetapan pun meminta pers untuk melakukan wawancara diluar gedung DPRD.
“Keluar. Keluar. Wawancara diluar saja sana. Kami mengendalikan tidak ada
kekerasan tapi kami jangan dipancing,”ujar suara aktivis sekber yang lain.
Wiroyudho mengaku pihaknya tidak akan
memperpanjang masalah tersebut dan menganggap itu adalah kesalahpahaman dan
bisa diselesaikan. Namun ia menyayangakan pemaksaan pembukaan baju berlambang
pakualaman. Itu berarti para aktivis tidak menghormati pakualaman atas insiden itu.
“Itu berarti mereka sudah menghina wibawa pakualaman. Kalau mereka bilang
mereka pendukung Kanjeng Ambarkusumo tapi mencopot baju pakualaman berarti
mereka sendiri tidak menghagai pakualaman,”katanya.
Salah satu aktivis Sekber Jony Iskandar
mengaku jengkel pada para pemuda. Sebab ketika dia menanyakan maksud tujuan,
mereka hanya diam saja. “Itu bikin
jengkel. Sudah ditanya baik-baik apa kepentingannya malah diam. Ini kan (DPRD)
poskonya Sekber untuk mengawal keistimewaan ini. Jangan sampai diricuhkan rakyat
kecil,”kata pria asal Madura ini.
Kata dia, setiap orang berhak ke dewan.
Hanya saja perlu dengan aturan main. Menurut Jony sudah ada aturan main, dimana
pihaknya sudah menjelaskan mengapa mereka mendirikan posko di DPRD. Kata dia
salah satu aturan main yang dilanggar oleh pendukung Anglingkusumo adalah ada
yang datang menyerahkan berkas Anglingkusumo, tanpa laporan. “Itu diam apa
maksudnya. Itu kan memancing kemarahan namanya. Coba ke sini baik-baik bilang
apa penjelasannya kan enak,”tegasnya.
Sementara itu Anggota Pansus Penetapan
Arif Rahman Hakim menghimbau agar kedua pihak menjaga proses penetapan gubernur
dan wakil gubernur dengan sebaik-baiknya. Agar tidak tercederai oleh aksi-aksi
vandalis yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Jogjakarta. Kata dia
setiap orang memang berhak menyampaikan pendapat ke DPRD. “Namun pendapat yang
disampaikan harus yang bisa
dipertanggungjawabkan,”tandasnya. (hed)”
Sekretariat
Bersama (Sekber) Keistimewaan tiba-tiba muncul merasa menjadi pemilik dewan.
Mereka merasa berhak untuk menentukan siapa yang boleh ke dewan dan siapa yang
tidak. Beberapa hari lalu, elemen pro penetapan dalam rancangan undang undang
keistimewaan (RUUK) memang mendirikan posko di DPRD DIJ. Alasannya ingin
mencegah Anglingkusumo yang mengklaim sebagai Paku Alam IX untuk mendaftarkan
diri sebagai calon gubenur.
Sekber mengaku
sebagai pendukung Paku Alam IX (KGPAA Ambarkusumo) yang sudah menjadi PA sejak
1999. Jika menarik jauh ke belakang, konflik antara Ambarkusumo dan
Anglingkusumo memang telah berlangsung sejak Ambarkusumo dilantik.
Anglingkusumo menegaskan dia tidak mengakui pelantikan itu. Konflik itu terus
bergulir hingga kini. Puncaknya adalah ketika UUK disahkan pada 30 Agustus
2012. Dimana salah satu keistimewaan DIJ adalah jabatan gubernur dan wakil gubernur
melekat pada sultan dan paku alam yang bertahta. Kini telah dilakukan
pendaftaran cagub dan cawagub untuk diverifikasi DPRD dan ditetapkan melalui
paripurna pada 21 September 2012. Lalu dilantik presiden pada 9 Oktober
mendatang.
Karena keduanya
mengklaim bertahta, maka dua kakak beradik tiri itu mendaftarkan diri dengan
membawa 14 persyaratan yang diamanatkan UU nomor 13 tahun 2012 tentang
Keisitmewaan DIJ. Dewan sendiri mengaku hanya akan menindaklanjuti berkas milik
Ambarkusumo. Karena yang mereka akui selama ini menjadi PA IX adalah yang telah
lama mereka kenal dan menjabat sebagai wakil gubenur sejak 2002.
Saya tidak mau
membahas sikap dewan. Namun saya sangat menyesalkan politik dukung mendukung
yang tidak sehat ini. Sekber sepertinya sudah merasa menjadi polisi tepatnya
preman keistimewaan. Saya kira tidak seharusnya mereka menghadang melakukan
intimidasi terhadap pendukung Angling yang bahkan belum mengeluarkan satu
pernyataan sikap apapun. Mereka memaksa enam pemuda itu membuka baju,
menggiring ke pos satpam, menginterogasi dengan suara yang menggelegar.
Karena para
pemuda itu diam, lantas sejumlah “penjaga UUK” menyatakan bahwa para pendukung
Angling itu bayaran. Tidak ada juga yang bisa menjamin bahwa “penjaga UUK’ itu juga
tidak dibayar (bukan secara harfiah). Politik bayar membayar itu sudah sangat
biasa saat ini, walaupun itu tidak bisa dimaklumi.
Jony Iskandar
bilang mereka tidak mau melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Tapi mereka
minta untuk tidak dipancing. Buat saya itu tindakan yang egois. Kenapa
orang-orang harus peduli kepada keberpihakan mereka? Harusnya kalau mau
dipedulikan mereka juga harus peduli pada pendapat orang lain. Bukankan setiap
orang harus saling menghargai.
Berbagai kejadian
ini sepertinya semakin membuat saya yakin, bahwa demokrasi dan kebebasan untuk
berpendapat itu tidaklah segampang mengucapkannya. Karena masih saja banyak
orang-orang dungu yang tidak mengerti itu.
sumber : http://heditia.blogspot.com/2012/09/ada-preman-di-dewan.html