Tuesday, April 1, 2014

Upacara Tedhak Siten yang Hampir Hilang : Si Kecil Berjalan di Atas Jadah Tujuh Warna



Upacara Tedhak Siten yang Hampir Hilang

Si Kecil Berjalan di Atas Jadah Tujuh Warna




Tedhak siten atau acara turun tanah bagi seorang anak yang akan belajar berjalan (tetahan) dalam tradisi Jawa, sudah jarang dilakukan. Karenanya ketika upacara tersebut berlangsung di kediaman KPH H Anglingkusumo (Sri Paduka KGPAA Paku Alam IX Al Haj), Jalan Harjowinatan, Pakualaman Jogja Rabu, 29 Desember 2010, menjadi begitu menarik. Apalagi upacara dan rangkaian sesajinya juga jangkep atau lengkap.



Meski hanya dihadiri kalangan terbatas kerabat Pakualaman, beberapa kerabat Keraton Ngayogyakarta, tokoh masyarakat dan sejumlah perias pengantin yang sekaligus merupakan handai taulan keluarga KPH H Anglingkusumo, tetapi acara berlangsung regeng. Diiringi alaunan gendhing-gendhing Jawa.



Tedhak siten diawali dengan upacara menginjak tanah oleh Raden Mas Sutan Muhammad Syailendra Satria Sularso Narendra, digandeng oleh ayah ibunya, Sutan Pangeran Rheindra Jais ST (KPH Wiroyudho) dan RAy. Retno Puspita Mandarwati Kusumawardhani SE MM (BRAy. Wiroyudho), putri bungsu KGPAA Paku Alam IX Al Haj.




Menginjak Tanah -- Si kecil RM SM Syailendra Satria Sularso Narendra, dibantu kedua orang tuanya dan disaksikan eyang putrinya Ir. KGRAy. SM Anglingkusumo, SPd, MEng meninjak tanah dan jasah tujuh warna.



Dilanjutkan berjalan di atas jadah (makanan tradisional dari ketan) tujuh warna. Antara lain merah, hijau, kuning, biru, ungu, putih yang merupakan simbol dari sifat-sifat manusia. Dilanjutkan naik tangga, sebagai proses kehidupan manusia.



Si kecil Syailendra kemudian dimasukkan dalam sangkar berhias untaian bunga melati dan mawar. Karena menangis, maka sang ibunda pun ikut masuk dalam sangkar, dimana telah disiapkan aneka mainan, uang dan perhiasan.



“Ternyata yang diambil uang pecahan Rp. 100.000,- dan perhiasan,” kata Ny Tatik Wardiyono, pemandu acara, disambut tepuk tangan hadirin. Karena di dalam sangkar tersebut sebenarnya disediakan banyak sekali macam barang. Ternyata pilihannya jatuh kepada yang bernilai mahal.



Dalam tradisi Jawa, semua semua uba rampe merupakan simbol-simbol. Dan diyakini, bahwa pilihan si anak menjadi perlambang kehidupannya kelak. Karena uang dan perhiasan berupa gelang bertahta berlian yang dipilih, maka di kelak kemudian si anak dipercayai akan hidup mapan.



Usai mandi kembang, acara dilanjutkan dengan tetahan sambil membawa tebu Arjuna, dan pisang raja serta ingkung ayam yang diikatkan pada tebu berhias. Ini perlambang harapan, agar kelak si anak bisa hidup mandiri, dalam mencapai kehidupan mapan.



Acara diakhiri dengan nyebar udhik-udhik. Tak hanya dilakukan oleh ayah ibunya, tapi juga oleh si kecil Syailendra. Ketika seluruh uang recehan yang dicampur beras kuning sudah habis disebar dan diperebutkan oleh hadirin, tinggal uang kertas pecahan Rp. 100.000,- tetap dalam genggamannya. Meski beberapa kali diberi aba-aba, namun uang tak juga dilemparkan. Beberapa saat kemudian, baru dilepas dan diserahkan ke salah satu kerabat.



Upacara tedhak siten, ternyata tidak hanya berlangsung di Jawa, khususnya di Jogja dan Solo. Tetapi upacara semacam itu juga ada di ranah Minang, asal sang ayahanda, kata Tatik Wardiyono yang mendapat penjelasan dari Sutan Pangeran Rheindra Jais (KPH Wiroyudho). “Ini merupakan bagian dari kekayaan budaya kita sehingga menjadi kewajiban kita semua untuk ikut melestarikannya,” katanya.



Kekhawatiran itu didasari kenyataan, bahwa sudah semakin jarang keluarga yang meyelenggarakan acara tedhak siten bagi anaknya yang akan turun tanah. Apalagi keluarga muda yang sebagian cenderung menjadi asing pada budaya nenek moyangnya sendiri.





Sumber : Bernas Jogja bagian Metro Jogja Halaman 1, Kamis Pahing, 30 Desember 2010.




No comments:

Post a Comment