Upacara
Tedhak Siten yang Hampir Hilang
Si
Kecil Berjalan di Atas Jadah Tujuh Warna
Tedhak
siten atau acara turun tanah bagi seorang anak yang akan belajar berjalan
(tetahan) dalam tradisi Jawa, sudah jarang dilakukan. Karenanya ketika upacara
tersebut berlangsung di kediaman KPH H Anglingkusumo (Sri Paduka KGPAA Paku
Alam IX Al Haj), Jalan Harjowinatan, Pakualaman Jogja Rabu, 29 Desember 2010,
menjadi begitu menarik. Apalagi upacara dan rangkaian sesajinya juga jangkep atau lengkap.
Meski
hanya dihadiri kalangan terbatas kerabat Pakualaman, beberapa kerabat Keraton
Ngayogyakarta, tokoh masyarakat dan sejumlah perias pengantin yang sekaligus
merupakan handai taulan keluarga KPH H Anglingkusumo, tetapi acara berlangsung regeng. Diiringi alaunan gendhing-gendhing Jawa.
Tedhak
siten diawali dengan upacara menginjak tanah oleh Raden Mas Sutan Muhammad
Syailendra Satria Sularso Narendra, digandeng oleh ayah ibunya, Sutan Pangeran
Rheindra Jais ST (KPH Wiroyudho) dan RAy. Retno Puspita Mandarwati
Kusumawardhani SE MM (BRAy. Wiroyudho), putri bungsu KGPAA Paku Alam IX Al Haj.
Menginjak Tanah -- Si kecil RM SM Syailendra Satria Sularso Narendra, dibantu kedua orang tuanya dan disaksikan eyang putrinya Ir. KGRAy. SM Anglingkusumo, SPd, MEng meninjak tanah dan jasah tujuh warna.
Dilanjutkan
berjalan di atas jadah (makanan
tradisional dari ketan) tujuh warna. Antara lain merah, hijau, kuning, biru,
ungu, putih yang merupakan simbol dari sifat-sifat manusia. Dilanjutkan naik
tangga, sebagai proses kehidupan manusia.
Si
kecil Syailendra kemudian dimasukkan dalam sangkar berhias untaian bunga melati
dan mawar. Karena menangis, maka sang ibunda pun ikut masuk dalam sangkar,
dimana telah disiapkan aneka mainan, uang dan perhiasan.
“Ternyata
yang diambil uang pecahan Rp. 100.000,- dan perhiasan,” kata Ny Tatik
Wardiyono, pemandu acara, disambut tepuk tangan hadirin. Karena di dalam
sangkar tersebut sebenarnya disediakan banyak sekali macam barang. Ternyata pilihannya
jatuh kepada yang bernilai mahal.
Dalam
tradisi Jawa, semua semua uba rampe merupakan
simbol-simbol. Dan diyakini, bahwa pilihan si anak menjadi perlambang
kehidupannya kelak. Karena uang dan perhiasan berupa gelang bertahta berlian
yang dipilih, maka di kelak kemudian si anak dipercayai akan hidup mapan.
Usai
mandi kembang, acara dilanjutkan dengan tetahan
sambil membawa tebu Arjuna, dan pisang raja serta ingkung ayam yang diikatkan pada tebu berhias. Ini perlambang
harapan, agar kelak si anak bisa hidup mandiri, dalam mencapai kehidupan mapan.
Acara
diakhiri dengan nyebar udhik-udhik. Tak
hanya dilakukan oleh ayah ibunya, tapi juga oleh si kecil Syailendra. Ketika
seluruh uang recehan yang dicampur beras kuning sudah habis disebar dan
diperebutkan oleh hadirin, tinggal uang kertas pecahan Rp. 100.000,- tetap
dalam genggamannya. Meski beberapa kali diberi aba-aba, namun uang tak juga
dilemparkan. Beberapa saat kemudian, baru dilepas dan diserahkan ke salah satu
kerabat.
Upacara
tedhak siten, ternyata tidak hanya
berlangsung di Jawa, khususnya di Jogja dan Solo. Tetapi upacara semacam itu
juga ada di ranah Minang, asal sang ayahanda, kata Tatik Wardiyono yang
mendapat penjelasan dari Sutan Pangeran Rheindra Jais (KPH Wiroyudho). “Ini
merupakan bagian dari kekayaan budaya kita sehingga menjadi kewajiban kita
semua untuk ikut melestarikannya,” katanya.
Kekhawatiran
itu didasari kenyataan, bahwa sudah semakin jarang keluarga yang
meyelenggarakan acara tedhak siten bagi
anaknya yang akan turun tanah. Apalagi keluarga muda yang sebagian cenderung
menjadi asing pada budaya nenek moyangnya sendiri.
Sumber : Bernas
Jogja bagian Metro Jogja Halaman 1, Kamis Pahing, 30 Desember 2010.
No comments:
Post a Comment